Akhir-akhir ini gue lagi rajin buka halaman
Kumpulan Khek Hakka Indonesia di Facebook. Ternyata ada juga yang rajn posting dan menjawab pertanyaan dengan ramah dan (menurut gue) berbobot. Jujur, tadinya gue pikir paling juga group yang satu ini cuma akan jadi ajang narsis oknum tertentu.
Beberapa topik yang dibahas di sana adalah mengenai sejarah perkembangan hakka, tokoh-tokoh yang berasal dari hakka, pelestarian bahasa, dll. Hemm topik yang cukup berat juga. Gue yang pada dasarnya mempunyai banyak minat ini
*baca: gampang kepoh dan ikut-ikutan setelah beberapa kali cuma mampir dan baca doang, akhirnya ga tahan juga untuk ga ikutan komentar. Dan, ternyata dulu gue udah pernah bikin
thread! Hahaha..
Dari keberkutatan di sana, gue menyimpulkan bahwa sudah banyak generasi muda hakka yang telah luntur budaya asal dan
bahasa ibu-nya. Jadi ingat sama beberapa kerabat dan saudara yang sepertinya enggan untuk mengajarkan anak mereka untuk bisa berbahasa khek atau
hakfa. Mirisnya adalah, si orang tua lebih memilih berkomunikasi dengan anaknya secara terbata-bata dengan bahasa Indonesia-terbatas yang dimilikinya ketimbang menggunakan bahasa dari nenek moyang sendiri.
Tiba-tiba jadi terfikir bahwa sungguh si anak yang tak mampu berbahasa ibu tidak bisa disalahkan. Semuanya tergantung peran serta orangtua. Gue aja, yang kebetulan beruntung besar di kampung yang masyarakatnya secara dominan berbahasa khek, ketika sampai di Jakarta masih harus didik dengan gaya otoriter agar kemampuan gue ga luntur. Gimana nasib mereka dan generasi muda yang tak pernah diajarkan?
*gaya otoriter aka maksa si bokap: ga ada uang jajan kalo di dalam rumah berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
Gue yang belum bisa berbuat banyak demi keberlanjutan
hakfa, bertekat untuk meneruskan kemampuan gue kepada anak-cucu. Meski kemungkinan besar tiap generasinya akan mengalami kemunduran, setidaknya masih akan terus diwariskan, sampai suatu saat akan kalah oleh perkembangan zaman.
Untuk hal warisan budaya, sungguh salut dengan saudara-saudara di tanah Batak! Tali persaudaraan yang begitu erat merupakan pangkal dari keberlangsungan budaya mereka. Gue yakin itu. Mungkin perlu mengintip lebih jauh untuk mendapatkan rahasianya ini.
Oh yah, gue bukan ga cinta Indonesia lho! Gue bangga menjadi warga negara Indonesia dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan segala keberdayaan dan keterpurukannya. Gue hanya ingin menjaga keberadaan salah satu warna Indonesia. Itu aja.
*nasionalis banget yah gue! hahahahahaHal lain yang gue rasa mampu dan berusaha untuk lakukan adalah mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya mengenai Hakka dan membaginya kepada yang lain. Karna blog gue ini belum terkenal, hal lain yang harus gue lakukan adalah berharap banyak yang nyasar sampe di sini kemudian membaca tulisan-tulisan gue, nantinya ^^
Untuk tahap awal, berikut sedikit hasil tanya-tanya dengan Mr. Google dan diskusi dengan Ms. Wiki.
Ternyata kaki gue yang gede ini ada karna nenek-moyang gue ga mempraktekan tradisi "ikat kaki" seperti yang dilakukan oleh kaum perempuan etnis China lainnya! Para leluhur, susah neh cicit mu ini beli sepatu! Huhuhuhuhu...
Kata orang, para perempuan dari keluarga
Khek itu rajin dan ulet bekerja. Rupanya, itu karna udah lebih dari seribu tahun yang lalu gerakan feminisme penghapusan isu gender udah di mulai di sana. Baik kaum lelaki mau pun perempuan bekerja di ladang. Ini juga lah yang membuat kaki gue besar. Karna harus bekerja, jadi kaum perempuan Khek tidak berusaha mengecilkan kaki mereka dengan sepatu khusus
*nama menyusul :PGue rasa "sedikit info"-nya cukup sampai di sini dulu. Akan gue teruskan kembali di lain waktu. Mata udah layu neh..
Semoga semua makhluk hidup berbahagia..
-Ling-