Senang sekali ketika ditjen imigrasi meluncurkan layanan "permohonan paspor online". Apalagi setelah merasakan sendiri kemudahan yang ditawarkan ketika mengurus perpanjangan paspor sendiri pada akhir tahun lalu. Efisiensi bagi pemohon mau pun pihak ditjen.
Hemat waktu dan biaya buat pemohon, tenaga dan biaya bagi pihak imigrasi (petugas imigrasi tidak perlu lagi scan dokumen, udah langsung mendapatkan data digital tanpa mengeluarkan biaya tambahan). Dan, layanan birokrasi yang ringkas ini dipastikan meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap ditjen imigrasi. Terlebih bagi mereka yang sudah merasakan langsung, termasuk gue.
Dengan adanya sistem baru ini, gue sangat yakin kejatuhan era calo di kantor imigrasi hanya lah masalah waktu saja. Siapa yang mau menggunakan jasa calo jika sudah ada sistem birokrasi yang jelas? Hemat biaya pula. Namun, hari ini, gue dikecewakan oleh birokrasi layanan publik yang gue anggap paling rapi dan "bersih". Tadinya gue kira, seiring semakin majunya tehnologi komunikasi, cita-cita ditjen adalah melayani lebih banyak pemohon online. Eh, ternyata layanan permohonan paspor online yang "membela" kepentingan warga malah dibatasi.
Kini, hanya 100 permohonan paspor online yang akan dilayani oleh satu kantor imigrasi setiap harinya. Jadi, semua pemohon yang sudah mengajukan permohonan paspor online harus datang sepagi mungkin ke kantor imigrasi agar bisa dilayani pada hari yang sama. Jika kuota sudah lewat, tak peduli walau waktu masih menunjukan pukul sepuluh atau bahkan sembilan pagi, pemohon harus mengirimkan ulang permohonan paspor online dan datang kembali esok hari.
Hal yang paling mengecewakan dari kebijakan ini adalah, pada "tanda terima pra permohonan" hanya tertera keterangan diminta hadir pada jam 08.00 s/d 11.00. Tidak ada keterangan sama sekali bahwa hanya 100 pemohon pertama yang akan dilayani.
Suatu terobosan yang bisa "lebih melayani" (kualitas) pastinya akan menghadapi situasi "melayani lebih" (kuantitas) ketika makin dikenal luas oleh masyarakat. Apalagi jika terobosan tersebut memberikan dampak yang cukup signifikan. Tapi, ketika terobosan tersebut sudah dikenal luas, apakah tak ada solusi lain yang bisa ditawarkan selain mengurangi kualitas?
Kebijakan pembatasan kuota yang dipilih seakan menyirami rumput yang mulai kering. Bagai kembali memberi celah kepada para calo untuk "melayani" pemohon yang akhirnya nyerah setelah lelah berebut nomor antrian. *Eh, kog jadinya seperti mengarahkan warga untuk memilih jalur konvensional yah? Hmmm..
Seratus, meski bukan jumlah yang sedikit, namun tidak bisa dikatakan banyak. Total warga DKI menurut sensus 2010 saja ada 9.607.787 jiwa *sumber: wikipedia.org. Entah berapa pemohon yang mengajukan permohonan paspor online setiap harinya. Tadi ketika daftar ulang untuk tiga nama pada jam 11an, dalam 30 menit, selisih nomor tanda terima pertama dan ketiga adalah 27.
Berikut ini apa yang terlintas di kepala gue ketika "ditolak" oleh petugas imigrasi Jakarta Barat karena kuota habis.
Kog jadi ribet gini yah?Ada tambahan lain?!
100 orang per hari, kudu rebutan nomor antrian tiap pagi kah?
Kembali lagi ke masa 'bikin paspor itu ribet dan repot'. Terkesan seperti mengkampanyekan pen-calo-an ga seh?!
-Ling-
0 comments
Post a Comment